
Rahasia Hidup Bahagia
Yang Katanya Bahagia
Bagiku, bahagia adalah hal terindah yang diberikan Tuhan melalui berbagai cara yang sering kali tidak kita sadari. Kita tidak tahu dari mana kebahagiaan itu datang atau lewat apa ia hadir. Namun, percaya atau tidak, terkadang mereka yang tampak bahagia justru menyimpan luka yang begitu dalam—luka yang bahkan mereka sendiri tidak tahu harus diceritakan kepada siapa.
Berusaha menjadi seseorang yang tampak bahagia di tengah banyaknya luka bukanlah hal yang mudah. Mencoba memberikan kebahagiaan kepada orang lain, padahal diri sendiri juga membutuhkannya, adalah perjuangan yang melelahkan. Melihat orang lain bahagia terkadang menimbulkan rasa iri. Mencoba menerima diri sendiri, mencoba menerima luka yang ada, tetapi nyatanya tetap tidak bisa. Segala hal yang dilakukan di luar itu hanyalah kebohongan yang dirancang dengan baik agar tidak ada yang mengetahui luka yang disimpan rapat-rapat.
Tidak semua orang mampu menceritakan lukanya atau berbagi cerita tentang apa yang ia alami. Ada ketakutan akan bagaimana orang lain akan menanggapi kisahnya, sehingga lebih baik memendam semuanya sendiri. Menangis? Ya, itu salah satu cara untuk mengurangi rasa sakit—mencoba memahami diri sendiri tanpa campur tangan orang lain. Berusaha kuat untuk dirinya sendiri dan tetap terlihat baik-baik saja agar tidak ada yang tahu, sudah menjadi kebiasaan.
Sering kali, di tengah tangisnya, ia bertanya dalam hati:
Jika aku terbiasa menjadi pendengar bagi orang lain, lalu siapa yang mau mendengarkanku?
Jika aku selalu memberikan solusi atas masalah orang lain, lalu siapa yang akan membantuku menemukan solusi untuk masalahku sendiri?
Jika aku selalu berusaha menjadi sosok yang kuat, apakah itu berarti aku tidak boleh rapuh?
Menilai seseorang hanya dari luarnya adalah kesalahan. Semua orang memiliki ceritanya masing-masing, dan ini adalah ceritaku. Aku menyalurkan rasa sedihku melalui berbagai tulisan, karena terkadang aku sendiri tidak bisa membagikannya kepada orang lain. Menyimpan semuanya sendiri—itulah keahlianku.
Aku adalah anak kedua di keluargaku, anak yang mungkin tidak pernah diharapkan keberadaannya. Selalu menjadi pilihan kedua. Selalu dijadikan "tumbal." Dipaksa untuk menjadi kuat agar adikku tidak terluka. Semua masalah di rumah hanya aku yang tahu, dan menjadi objek amarah orang rumah sudah menjadi makananku sehari-hari. Aku sudah terbiasa dengan semuanya.
Mungkin ini memang cobaan yang harus aku jalani, bukan? Aku tidak bisa mengeluh atau menceritakan masalahku kepada orang lain, karena nyatanya yang mereka tahu adalah aku baik-baik saja. Jadi, tidak salah jika mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan. Pernah sekali mereka mendengar, tetapi kemudian mereka justru menyambungnya dengan cerita tentang nasib mereka sendiri. Itu membuatku bingung.
Mereka mendengarkan ceritaku, bukan?
Mereka tahu keluh kesahku, bukan?
Mereka mau berbagi kesedihan denganku, bukan?
Lalu, mengapa ceritaku harus disambung dengan cerita mereka?
Apa mereka tidak benar-benar mendengarkanku?
Apa mereka menganggap ceritaku tidak sepenting cerita mereka?
Apa aku memang tidak pantas didengar?
Namun, aku tahu bahwa Tuhan tidak pernah diam. Dia ingin semua ciptaan-Nya hidup bahagia. Aku tahu itu. Hanya saja, aku belum menemukan dari mana kebahagiaanku berasal.
"Aku tidak apa-apa."
Kalimat itu sudah menjadi bagian dari diriku, bukan?
Aku memakluminya.
Aku yakin suatu hari nanti, kebahagiaan yang benar-benar untukku akan datang.
Aku yakin.
•sumber foto: https://id.pinterest.com/pin/966092557541989533/
0 Comments :
Posting Komentar